
Artikel ini adalah hasil menulis ulang rangkaian twit saya tanggal 18-20 April 2019, dimulai satu hari setelah hari pemungutan suara dalam pemilihan umum. Ada dua alasan kenapa saya merasa tulis ulang ini perlu dilakukan: pertama banyak salah ketik yang mengganggu di twit saya; dan kedua, saya menggunakan kata “melipir” yang ternyata tidak ada dalam KBBI.
Apa yang terjadi di senja 17 April 2019 setia mengulang kejadian 1.835 hari sebelumnya, bagaikan versi remake lagu hampa kreativitas yang sering kita dengar di kafe. Kubu Prabowo Subianto menolak hasil quick count yang dilakukan beberapa lembaga survei yang meramalkan kekalahannya, dan mengumumkan kemenangan mereka berdasarkan data sendiri.
Saya tidak berminat melakukan spekulasi mengapa Prabowo melakukan hal ini (lagi). Saya tidak pernah bertemu dengannya. Saya percaya profiling jarak-jauh tidak layak dilakukan, termasuk oleh mereka yang psikolog, psikiater, atau ahli perilaku lain.
Saya lebih berminat menawarkan penjelasan tentang mengapa pendukung kubu ini nampak secara berjamaah menolak kenyataan, meskipun beberapa orang sudah berpanjang lebar menjelaskan kepada mereka apa bedanya jajak pendapat, exit poll, quick count, dan penghitungan KPU; apa itu random sampling dan mengapa teknik ini bisa membuat angka survei bisa mewakili statistik di populasi.
Apa yang menyebabkan pengingkaran massal ini? Saya menawarkan konsep motivated reasoning untuk menjelaskannya, sekaligus menawarkan rekomendasi untuk menurunkan potensi konflik.
Motivated reasoning adalah kecenderungan yang tidak kita sadari untuk mencocok-cocokkan proses pengolahan informasi dalam rangka mencapai suatu tujuan (lihat tulisan dari salah satu peneliti pelopornya). Artinya, kita mengolah informasi untuk mencari pembenaran (rasionalisasi) dari pendapat yang sudah ia buat atau setujui sebelumnya.
Anda salah jika menduga kalau motivated reasoning berkaitan dengan kebodohan atau tingkat pendidikan. Motivated reasoning bisa terjadi pada siapa saja, termasuk di kalangan ilmuwan dan peneliti (misalnya di sini atau sini).
Apa motif yang mendorong motivated reasoning? Riset tentang motivated reasoning biasanya mengaitkannya dengan konflik politik, dan cenderung fokus pada kebutuhan setiap orang untuk mempertahankan identitas positif, terutama sebagai anggota sebuah kelompok yang ia anggap penting dalam mendefinisikan dirinya.
Work on motivated cognition and political conflict tends to focus more on the need for maintaining a valued identity, particularly as a member of a group.
Dan Kahan.
Kubu Prabowo tentu menganggap menjadi “Barisan 02” adalah identitas yang penting dalam menjelaskan siapa mereka. Kekalahan yang diramalkan quick count pastinya bertentangan dengan kebutuhan setiap orang untuk mempertahankan identitas positif. Di tengah kenyataan yang tidak menyenangkan ini, menolak fakta dan logika dasar statistik menjadi cara untuk memperlihatkan kesetiaan pada kelompok. Semakin mereka didesak untuk menelan pil pahit (terutama oleh kubu pemenang), semakin besar desakan untuk terus melakukan, bahkan merayakan motivated reasoning. Semakin sia-sia usaha untuk membuat mereka berubah posisi dengan fakta, logika, apalagi cemooh dari kubu lawan.
Karena saya tidak ingin ada konflik berlanjut, saya ingin mengajukan beberapa ajakan pada kelompok pendukung Joko Widodo. Pertanyakan kembali apa tujuan Anda “menyadarkan” kelompok pendukung Prabowo: untuk menggarami luka mereka, atau untuk menurunkan potensi konflik, sehingga kandidat Anda bisa langsung bisa kerja membayar janji-janji kampanyenya —termasuk yang belum lunas sejak periode lalu?
Kalau Anda ingin menurunkan potensi konflik, saya menyarankan untuk mengikuti saran ini:

Supaya lebih jelas:
- Berhenti mencemooh bagaimana pendukung Prabowo berlarut-larut merayakan motivated reasoning. Tahan diri sekeras mungkin, sejengkel apapun diri Anda. Camkan dan turuti petuah Michele Obama: “When they go low, we go high.”
- Buat suasana yang mendorong pendukung Prabowo bisa hengkang tanpa rasa malu, baik dalam sunyi atau dengan keramaian (seperti yang dilakukan Partai Demokrat). Caranya adalah dengan melambungkan narasi bahwa “hengkang itu patriotis, karena mengedepankan kepentingan dan keutuhan bangsa“. Selain itu, mungkin sudah saatnya kita tidak “mendesak” Sandiaga Uno untuk terus muncul di sisi Prabowo.
- Puji secara terbuka tokoh-tokoh yang sudah hengkang, karena mereka sudah melakukan langkah yang patriotis.
Seorang warganet bertanya ke saya:
Memang ini bukan tugas pendukung Joko Widodo. Tapi bagi saya ini adalah sebuah pilihan untuk menurunkan potensi konflik (jangka pendek) dan membangun tradisi politik baru, yakni menerima kekalahan dengan kepala tegak, seperti yang telah dilakukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (jangka panjang).
Kalau Anda memang memilih kandidat 01 karena peduli dengan mana yang lebih baik buat bangsa dan bukan karena pemujaan buta, saya kira ini pilihan yang sejalan, bukan?